MAKALAH
“WADI’AH”
Diajukan sebagai tugas kelompok dari mata kuliah akuntansi syari’ah
DI SUSUN OLEH :
Ø ASEP MUHIBUDDAR 081400129
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN
2010/2011
1. PENDAHULUAN
Berkembang pesatnya kegiatan ekonomi dan keuangan syari’ah telah menarik banyak pihak untuk mengetahui lebih dalam tentangnya. Bukan hanya kajian dari sisi landasan konseptual dan penerapan fikihnya saja, namun juga berkaitan langsung dengan dari sisi manajemen operasioal, khususnya dalam pendokumentasian transaksi syari’ah.
Salah satu dari akad-akad atau transaksi yang termasuk dalam akad ekonomi syari’ah adalah akad Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip).
Menurut prakteknya, wadi’ah terbagi 2 ( dua) yaitu
- wadi’ah amanah
wadi’ah amanah, yaitu wadi’ah dimana uang/barang yang dititipkan hanya boleh disimpan dan tidak boleh didaya gunakan. Si penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Contoh titipan barang di pusat perbelanjaan.
- wadi’ah yad dhamamah
wadi’ah yad dhamamah, yaitu wadi’ah dimana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan dengan seizin pemiliknya dan mejamin untuk mengembalika titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendakinya. Hasil pemanfaatan barang tidak wajib dibagi hasilkan dengan pemberi titipan. Namun penerima titipan boleh saja memberikan bonus dan tidak boleh dijanjikan sebelumnya kepada pemilik barang.
II. PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN WADI’AH
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang titipan tesebut, dan yang dititipi menjadi penjamin pengemalian barang titipan.
Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan wadiah, cara penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada pemilik barang dan hal-hal lain yang di anggap penting.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :
1.Ulama madzhab hanafi mendefinisikan :
تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.
2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “
Tokoh – tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wadhi’ah adalah akad penitipan barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.
2.2. DASAR HUKUM WADI’AH
Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan, yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak bisa menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak, sehingga ia menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan bagi seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi si pelaku penerima titipan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
283. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Dasar hukum wadi’ah menurut hadis adalah
“Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu” . H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
2.3. RUKUN WADI’AH
Rukun wadi’ah ada 4
1. pelaku yang terdiri atas pemilik barang/pihak yang menitip (muwaddi)
2. pihak yan menyimpan (wadi’i/muswada)
3. objek wadi’ah berupa barang yang dititipi (wadi’ah)
4. ijab qabul/serah terima
ketentuan syari’ah, yaitu :
- pelaku harus cakap hukum, baligh serta mampu menjaga serta memelihara barang titipan.
- objek wadi’ah, benda yan dititipkan tersebut jelas dan diketahui spesifikasinya oleh pemilik dan penyimpan.
- ijab Kabul/ serah terima, adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/ rela antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara erbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan.
Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.
Menurut HANAFIYAH rukun al-wadi’ah ada satu yaitu ada ijab dan Kabul sedangkan yang lainya termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Menurut HANAFIYAH dalam shighat ijab dianggap sah apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah).
Menurut SYAFIIYAH al-wadi’ah memiliki tiga rukun yaitu :
a. Barang yang dititipkan, syarat barang dititipkan adalah barang atau benda itu merupakan sesuatu yang dapat dimiliki menurut syara’
b. Bagi orang yang menitipkan dan yang menerima titipan disyaratkan bagi penitip dan penerima titipan sudah baligh, berakal serta syarat-syarat lain yang sesuai dengan syarat-syarat berwakil
c. Sighat ijab dan Kabul al-wadi’ah, diosyaratkan pada ijab Kabul ini dimengeri oleh kedua belah pihak, bak dengan jelas mauoun samar.
2.4. JENIS-JENIS WADI’AH
1. wadi’ah amanah, yaitu wadi’ah dimana uang/barang yang dititipkan hanya boleh disimpan dan tidak boleh didaya gunakan. Si penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Contoh titipan barang di pusat perbelanjaan.
Skema wadi’ah yad al-amanah
|
|
(1)
(2)
(3)
Keterangan
1) pihak yagn menitipkan menyepakati akad wadi’ah dengan penerimaan titipan
2) pihak yang menitipkan menyerahkan barang untuk disimpan oleh penerima titipan
3) penerima titipan menyerahkan barang kembali kepada pihak yang menitipkan ketika diminta.
Akad wadi’ah yad al-amanah yang digunakan pada lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. wadî’aħ yad al-amânaħ, yang diterapkan pada produk simpanan yang tidak sering ditarik atau dipakai. Utuk itu Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan.
Seperti pada skema dibawah ini
2. wadi’ah yad dhamamah, yaitu wadi’ah dimana si penerima titipan dapat
memanfaatkan barang titipan dengan seizin pemiliknya dan mejamin untuk mengembalika titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendakinya. Hasil pemanfaatan barang tidak wajib dibagi hasilkan dengan pemberi titipan. Namun penerima titipan boleh saja memberikan bonus dan tidak boleh dijanjikan sebelumnya kepada pemilik barang. Akad wadi’ah yad dhamamah yang digunakan pada lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah, adalah seperti safedeposit box, dan wadî’aħ yad al-dhamânaħ, ditetapkan pada rekening giro.
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.
Seperti pada skema dibawah ini
Menurut Muhammad Syafii Antonio dan Heri Sudarsono menyebutkan wadî’aħ yad al-dhamânaħ sebagai bentuk kedua dari wadî’aħ, di samping wadî’aħ yad al-amânaħ, tanpa menyertakan dasar hukumnya. Adiwarman A. Karim juga menyebutkan wadî’aħ yad al-dhamânaħ sebagai bentuk kedua dari wadî’aħ dan digunakan sebagai akad bagi produk giro oleh kebanyakan bank Syariah. Untuk itu, ia menyebutkan bahwa implikasi hukumnya sama dengan qardh, di mana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank sebagai yang dipinjamkan. Sebagai sandaran hukumnya, Adiwarman menyebutkan bahwa hal itu mirip dengan yang dilakukan Zubayr bin 'Awwam ketika menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW.
Riwayat tersebut diceritakan oleh al-Bukhariy dan al-Bayhaqiy, yang menceitakan bahwa Zubayr bin 'Awwam pernah ditemui seseorang untuk dipercayakan sebagai muwadda’. Akan tetapi ia menolaknya, kecuali kalau barang tersebut diserahkan dengan cara salaf, karena ia merasa khawatir kalau-kalau benda titipan itu hilang.
Terhadap permintaan Zubayr untuk mengalihkan akad itu menjadi akad salaf, Ibn Hajar menjelaskan bahwa Zubayr baru bersedia menerima ”titipan” kalau penitipnya mau menyerahkan sebagai tanggung jawab penuh. Kekhawatiran Zubayr terhadap kehilangan harta titipan itu memberikan indikasi bahwa ia termasuk orang yang kurang handal dalam memelihara harta. Oleh karena itu ia berkesimpulan menerima harta itu dengan jaminan adalah lebih baik bagi si pemiliknya, dan hal itu juga tidak akan merusak kehormatannya. Ibn Baththal menambahkan, permintaan Zubayr menjadikan akad itu sebagai salaf supaya ia memperoleh keuntungan bersih (penuh) dari usaha yang dibiayai dengannya.
2.4. PERLAKUAN AKUNTANSI WADI’AH
Pencatatan akuntansi wadi’ah agi pihak pemilik barang dan bagi pihak penyimpan barang adalah sebagai berikut.
Bagi pihak pemilik barang
- pada saat menyerahkan barang (menerima tanda penitipan barang) dan membayar biaya penitipan (menerima tanda terima pembayaran)
jurnal :
Dr. beban wadi’ah xxx
kr. kas xxx
jika biaya penitipan belum di bayar
jurnal :
Dr. beban wadi’ah xxx
kr. Utang xxx
- pada saat mengambil barang dan membayar kekurangan biaya penitipan
jurnal :
Dr. utang xxx
Kr.kas xxx
Bagi pihak penyimpan barang
- pada saat menerima barang (mengeluarkan tanda terima barang) dan penerimaan pendapatan penitipan (membuat tanda terima pembayaran).
Jurnal :
Dr. kas xxx
Kr. Pendapatan wadi’ah xxx
- jika biaya penitipan belum dibayar
jurnal :
Dr. piutang xxx
Kr. Pendapatan wadi’ah xxx
- pada saat penyerahkan barang dan menerima pembayaran kekurangan pendapatan penitipan (mengeluarkan tanda peyerahan barang)
jurnal :
Dr. kas xxx
Kr. Piutang xxx
Contoh giro wadi’wadi’ah :
Tn. Baris memiliki rekening giro wadiah di Bank Muamalat Sungailiat dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp 1.000.000,-. Bonus yang diberikan Bank Muamalat Sungailiat kepada nasabah adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp 500.000,-. Diasumsikan total dana giro wadiah di Bank Muamalat Sungailiat adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan Bank Muamalat Sungailiat dari penggunaan giro wadiah adalah Rp 20.000.000,-.
Pertanyaan : Berapa bonus yang diterima oleh Tn. Baris pada akhir bulan Mei 2002.
Jawab :
Rp 1.000.000,-
Bonus yang diterima = x Rp 20.000.000,- x 30 % Tn. Baris Rp 500.000.000,- (sebelum dipotong pajak)
= Rp 12.000,-
Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
III. KESIMPULAN
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujua keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang titipan tesebut, dan yang dititipi menjadi penjamin pengemalian barang titipan.
Dalam akad hendakya dijelaskan tujuan wadiah, cara penyimpanan lamanya waktu penitipan biaya yang dibebankan pada pemilik barang dan hal-hal lain yang di anggap penting.
Rukun wadi’ah ada 4
- pelaku yang terdiri atas pemilik barang/pihak yang menitip (muwaddi)
- pihak yan menyimpan (wadi’i/muswada)
- objek wadi’ah berupa barang yang dititipi (wadi’ah)
- ijab qabul/serah terima
ketentuan syari’ah, yaitu :
- pelaku harus cakap hukum, baligh serta mampu menjaga serta memelihara barang titipan.
- objek wadi’ah, benda yan dititipkan tersebut jelas dan diketahui spesifikasinya oleh pemilik dan penyimpan.
- ijab Kabul/ serah terima, adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/ rela antara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara erbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Menurut prakteknya, wadi’ah terbagi 2 ( dua) yaitu
1. wadi’ah amanah
wadi’ah amanah, yaitu wadi’ah dimana uang/barang yang dititipkan hanya boleh disimpan dan tidak boleh didaya gunakan. Si penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. Contoh titipan barang di pusat perbelanjaan.
- wadi’ah yad dhamamah
wadi’ah yad dhamamah, yaitu wadi’ah dimana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan dengan seizin pemiliknya dan mejamin untuk mengembalika titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendakinya. Hasil pemanfaatan barang tidak wajib dibagi hasilkan dengan pemberi titipan. Namun penerima titipan boleh saja memberikan bonus dan tidak boleh dijanjikan sebelumnya kepada pemilik barang.
DAFTAR PUSTAKA
Ø nurhayati, sri. Dan wasilah 2009. akuntansi syari’ah di Indonesia.jakarta: salemba empat
Ø http://www.pa-pandan.net/index.php?view=article&catid=39%3Ahotnews&id=65%3Awdps&format=html&option=com_content&Itemid=61 pada tanggal 02 maret 2011
Ø http://id.wikipedia.org/wiki/Wadiah pada tanggal 02 maret 2011
Ø http://www.ekisonline.co.cc/2010/04/menakar-ulang-wadia-yad-al-dhamana_03.html pada tanggal 10 maret 2011